Selasa, 02 Februari 2010

Anak yang Malang

Di sore hari yang gelap karena akan turun hujan, sepulang kerja aku melanjutkan aktivitas dengan mengantar istri ke seorang penyembuh alternatif yang memakai metode Chi Kung di daerah Jalan Paledang, Bandung. Dari nama metode pengobatannya saja sudah dapat ditebak bahwa penyembuh alternatif tersebut adalah seorang chinese (warga keturunan tionghoa). Saat itu, beliau tengah melakukan usaha penyembuhan pada pasien yang lain. Calon pasien yang lain pun masih banyak yang mengantri di luar ruang periksa. Aku bersama istri tidak mendapatkan kursi untuk duduk di halaman depan. Setelah aku pergi untuk melaksanakan shalat maghrib di mesjid terdekat dan kembali lagi, istri masih berdiri menunggu kebagian tempat untuk duduk. Satu batang rokok habis sementara berdiri menunggu.

Aku dan istriku diberitahukan oleh seorang ibu muda yang cantik sambil memegang anaknya yang berusia sekitar 2,5 tahun bahwa ada tempat untuk duduk yang tersedia di ruangan dalam. Kami pun akhirnya masuk untuk mendapatkan tempat duduk. Didalam ruangan tersebut ada seorang ibu dan seorang lagi ibu saudara penyembuh alternatif yang sedang mengobrol. Kedua ibu itu adalah chinese. Setelah mendengar pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu yang duduk di tempat menunggu tersebut adalah ibu dari ibu muda yang memberitahukan ruangan tersebut. Keramahan yang kami terima dari ibu dan ibu muda itu tidak berbeda dengan orang pribumi lainnya.

Setelah mendengar pembicaraan antar mereka dan juga pembicaraan istriku yang juga chinese diketahuilah bahwa ibu dan ibu muda itu bermaksud untuk menyembuhkan anak yang berusia 2,5 tahun itu atas kurangnya keberfungsian pendengaran. Setelah beberapa lama mengobrol, maka diketahui anak usia 2,5 tahun itu mengalami kurang dengar semenjak kecil karena pada saat baru lahir, anak tersebut sakit kuning. Ini akibat dari kurang responsifnya dokter atas gejala yang timbul dari anak tersebut. Warna badannya pada saat itu berubah menjadi oranye dan hampir saja kehilangan nyawanya. Tetapi ternyata anak tersebut tidak meninggal, tetapi harus menerima akibat dalam hidupnya untuk mengalami pendengaran yang kurang baik.

Pendengaran kurang baik tersebut mengakibatkan anak tersebut tidak dapat merespon orang yang mengajaknya bicara. Kehilangan keseimbangan pun menjadi sesuatu yang diderita oleh anak tersebut karena indera keseimbangan yang dimiliknya mengalami keterbatasan. Sungguh kasihan anak itu untuk mengalami hal seperti itu atas sesuatu yang bukan akibat dari bentuk kesalahan anak tersebut. Ketika dipanggil namanya dia hanya kadang-kadang sekali bisa menoleh menuju orang yang memanggilnya. Ketika berjalan dia sering berjalan kebingungan karena keseimbangan pun terganggu. Untuk anak seumurnya seharusnya dia sudah bisa menyebut namanya sendiri dengan fasih. Tetapi nenek dan ibunya tidak menjadikan dia sebagai beban berat. Mereka terus optimis dan berusaha tanpa sedih menyembuhkan anak tersebut baik secara medis maupun alternatif. Mereka menunjukkan bahwa mereka ikhlas atas apa yang telah terjadi pada anak tersebut pada masa lampau.

Aku melihat suatu keikhlasan tidak hanya dari orang muslim saja, tetapi kali ini aku melihat suatu bentuk keikhlasan dari keluarga non-muslim, walaupun mungkin berbeda dari konsep ikhlas di dalam islam. Aku punya foto anak tersebut dan akan aku simpan untuk mengingatkan aku pada:
  1. Hal seperti ini dapat saja dialami oleh siapa pun
  2. Para dokter seharusnya lebih responsif pada perubahan yang dialami pasien
  3. Orang tua tetap kritis akan kesehatan dan keselamatan anaknya
  4. Ramahlah pada setiap orang dan tidak menimbulkan sikap ekslusif apalagi rasisme
  5. Berusahalah untuk mencapai sesuatu walaupun hal tersebut tidak masuk pada akal dan logika, karena akal dan logika bukan merupakan yang satu-satunya
  6. Ikhlaslah pada setiap kondisi
  7. Akan lebih baik bila Ikhlas karena Allah SWT, insya Allah.